BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi terbesar di Indonesia. Di dalamnya terdapat banyak daerah dengan kebudayaan berbeda. Cianjur merupakan salah satu wilayah terluas di Jawa Barat. Kebudayaan pokoknya dalah kebudayaan Sunda, sama seperti kebanyakan daerah di Jawa Barat. Namun ada yang membedakan budaya Sunda Cianjur dengan budaya Sunda Jawa Barat. Ideologi dan kehidupan para leluhur di Cianjur sedikit banyak telah melahirkan kebudayaan Sunda yang khas, yang hanya berlaku di daerah Cianjur. Melalui uraian ujuh unsur budaya Cianjur, kita bisa melihat persamaan juga perbedaan budaya Sunda daerah Cianjur dengan budaya Sunda pada umumnya.
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penerapan unsur-unsur kebudayaan pada kebudayaan Cianjur?
I.3 Tujuan Penulisan
1.1.1.Untuk mengetahui dan menganalisis unsur bahasa pada kebudayaan Cianjur.
1.1.2. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem teknologi dan alat produksi pada kebudayaan Cianjur.
1.1.3. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem mata pencaharian pada kebudayaan Cianjur.
1.1.4. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem kemasyarakatan pada kebudayaan Cianjur.
1.1.5. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem pengetahuan pada kebudayaan Cianjur.
1.1.6. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem religi pada kebudayaan Cianjur.
1.1.7. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur kesenian pada kebudayaan Cianjur.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
Definisi Antropologi
Secara Etimologis:
Antropologi, secara etimologis berasal dari kata Antropos, yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Jadi antropologi adalah ilmu tentang manusia.
Secara Konseptual
- Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. - William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
- David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Secara Operasional
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia dan keaneka ragaman,serta kebudayaannya.
Tabel Variabel Instrumen
Variable teori | Variabel Dimensi | Indikator |
Antropologi | Ilmu Manusia Kebudayaan | - Ilmu biologi - Ilmu sosiologi - Ilmu antropologi - Kepribadian - Bentuk-bentuk fisik - Perilaku - Adat istiadat - Unsur budaya - Sistem sosial |
Definisi Kebudayaan
Secara Etimologis
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu ‘budayyah’ yang merupakan jamak dari kata budhi yang artinya akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal.
Secara Konseptual
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
3. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Secara Operasional
Kebudayaan adalah seluruh hasil karya manusia yang melingkupi pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat dan kemampuan lain yang dihasilkan manusia dengan belajar.
Tabel Variabel Instrumen
Variable teori | Variabel Dimensi | Indikator |
Kebudayaan | Karya Adat istiadat Belajar | - Alat transportasi - Alat tulis - Mebel - Norma - Kebiasaan - Aturan - Prestasi - Pengetahuan - Pengalaman |
Definisi Masyarakat
Secara Etimologis
Masyarakat secara etimologi berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar syaraka (verb) atau syariek (noun) yang berarti teman. Dan dalam bahasa Inggris kata masyarakat itu sepadan dengan kata Society yang berasal dari kata Socius, artinya bergaul. Jadi, Masyarakat secara kebahasaan dapat diartikan sebagai kelompok orang yang berteman dan bergaul
Secara Konseptual
- Menurut JL Gillin (sosiolog) dan JP Gilin (antropolog)
Masyarakat adalah sekelompok orang yang satu sama lain merasa terikat oleh kebiasaan tertentu, tradisi, perasaan, dan prilaku yang sama.
- Menurut Koentjaraningrat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
- Menurut Selo Sumarjan (1974)
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Secara Operasional
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi dan terikat oleh kebiasaan, identitas dan adat istiadat yang sama.
Tabel Variabel Instrumen
Variable teori | Variabel Dimensi | Indikator |
Masyarakat | Interaksi Identitas Adat istiadat | - Pengirim pesan - Medium - Penerima pesan - Ciri fisik - Kewarganegaraan - Kebudayaan - Norma - Kebiasaan - Aturan |
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
3.1.1 Metode Penelitian Kualitatif
a. Menurut Bogdan dan Taylor
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
b. Menurut Kirk dan Miller
Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya.
c. Menurut Lexy .J. Moloeng
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha melihat kebenaran-kebenaran atau membenarkan kebenaran, namun di dalam melihat kebenaran tersebut, tidak selalu dapat dan cukup didapat dengan melihat sesuatu yang nyata, akan tetapi kadangkala perlu pula melihat sesuatu yang bersifat tersembunyi, dan harus melacaknya lebih jauh ke balik sesuatu yang nyata tersebut.
d. Menurut Creswell
Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata.
e. Menurut Strauss dan Corbin
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka.
3.1.2 Metode Penelitian Deskriptif
a. Menurut Dra. Nurul Zuriah, M.si
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenal sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
b. Menurut Prof. Dr. H. Hadari Nawawi
Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkn fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
c. Menurut Sanapiah Faisal
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.
d. Menurut Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.SC
Penelitian deskriptif yaitu memaparkan situasi atau peristiwa.
e. Menurut Moh. Nazir
Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu system pemikiran ataupun suatu kelas pada masa waktu sekarang.
3.2 Metode Analisis Data
3.2.1 Data Primer
a. Menurut Prof. Dr. H. Hadari Nawawi
Data primer yakni data aunthentik atau data langsung dari tngan pertama tentang masalah yng diungkapkan.
b. Menurut Ir. Moehar Daniel, MS
Data primer yaitu bila tanggung jawab terhadap pengumpilan data dan penerbitannya berada dalam satu tangan.
c. Menurut Dr. S. Nasution, M.A
Data primer yaitu data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan termaasuk laboratorium.
d. Menurut Drs. Marzuki
Data primer yaitu pengumpulan data secara langsung di lapangan.
e. Menurut Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.SC
Data primer adalah saksi mata dari suatu peristiwa, dpat berupa orang atau bend (tape recorder, kamera) yang hadir dalam peristiwa tertentu.
3.2.2 Data Sekunder
a. Menurut Prof. Dr. H. Hadari Nawawi
Data sekunder yakni data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat authentik kiarena sudah diperoleh dari tangan kedua, ketiga, dan selanjutnya.
b. Menurut Ir. Moehar Daniel, MS
Data sekunder merupakan data yang telah tersedia dalam berbagai bentuk ( tulisan-tulisan yang telah diterbitkan, dokumen-dokumen negara, penerbitan, agen-agen perdagangan, balai penelitian, dan lain-lain).
c. Menurut Dr. S. Nasution, M.A
Data sekunder yaitu data yang bersumber dari bahan bacaan.
d. Menurut Drs. Marzuki
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti misalnya dari biro statistic, majalah, keterangan-keterangan, atau publikasi lainnya.
e. Menurut Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.SC
Data sekunder terdiri dari literatur dan dokumen-dokumen lain baik yang berupa tulisan yang dimuat di surat kabar, majalah, buku-buku, makalah-makalah, dan sebagainya.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Cianjur merupakan salah satu kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Barat yang berpenduduk 1.931.840 jiwa pada tahun 2003 dengan laju pertumbuhan penduduk 1,48%. Letak Cianjur sangat strategis karena dilintasi jalur jalan negara antara Jakarta-Bandung. Luas wilayah 350.148 Ha dan secara administrative Pemerintahan terdiri dari 26 kecamatan, 388 desa dan 6 kelurahan.
Sebelah utara wilayah Cianjur berbatasan dengan wilayah kabupaten Bogor dan Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan wilayah Sukabumi, sebelah timur berbatasan dengan wilayah kabupaten Bandung dan Garut, sebelah selatan berbatasan dengan samudra Indonesia.
Lambang daerah Cianjur
Simbol daerah Cianjur, memiliki arti sebagai berikut.
Perisai, melambangkan ketangguhan fisik dan mental.
Warna dasar kuning emas, melambangkan kehidupan yang abadi.
Gunung segitiga berwarna hijau, melambangkan kesuburan.
Hamparan warna biru menunjukkan air yang melambangkan kesetiaan dan ketaatan.
Dua tangkai padi bersilang masing-masing berbutir 17 melambangkan keentraman dan dinamika kehidupan masyarakat yang dijiwai semangat Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Simpul pita berwarna kuning emas, melambangkan sufat persatuan dan kesatuan.
Motto Sugih Mukti, melambangkan kesejahteraan.
Secara geografis , Kabupaten Cianjur dapat dibedakan dalam tiga wilayah pembangunan yakni wilayah utara, tengah dan wilayah selatan.
- Wilayah Utara
Meliputi 16 Kecamatan : Cianjur, Cilaku, Warungkondang,Gekbrong, Cibeber, Karangtengah, Sukaluyu, Ciranjang, Bojongpicung, Mande, Cikalongkulon, Cugenang , Sukaresmi, Cipanas, Pacet dan Haurwangi.
- Wilayah Tengah
Meliputi 9 Kecamatan : Sukanagara, Takokak, Campaka, Campaka Mulya, Tanggeung, Pagelaran, Leles, Cijati dan Kadupandak.
- Wilayah Selatan
Meliputi 7 Kecamatan : Cibinong, Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun , Naringgul, Cikadu dan Pasirkuda.
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memeliki keindahan alam yang mempesona, hawa sejuk pegunungan kawasan Puncak dan hamparan indah pantai di Cianjur selatan yang lestari dan alami, serta keanekaragaman seni budaya tradisional yang unik.
Keindahan serta keunikan budayanya bisa dilihat dari uraian tujuh unsur budayanya, yaitu unsur sistem teknologi dan alat produksi, unsur sistem bahasa, unsur sistem agama, unsur sistem pengetahuan, unsur sistem mata pencaharian, unsur sistem kemasyarakatan, serta unsur kesenian.
1. Sistem teknologi dan alat produksi
Kota Cianjur mempunyai berbagai macam peralatan hidup yang diturunkan sebagai warisan budaya sejak zaman dulu. Alat-alat yang digunakan untuk kelangsungan hidup masyarakat Cianjur banyak macamnya, diantaranya berupa senjata, peralatan rumah tangga seperti alat penyimpanan padi, lentera, dan juga kursi bambu. Selain itu, Cianjur juga memproduksi makanan khas yang berasal dari berbagai daerah di Cianjur, seperti beras pandan wangi, tauco, dan manisan.
· Beras Pandanwangi
Beras Pandan Wangi yaitu beras asli Cianjur merupakan satu-satunya beras terbaik yang tidak ditmukan di daerah lain dan sudah menjadi trademark Cianjur dari masa ke masa. Beras ini berasal daripadi bulu varietas local. Karena nasinya yang beraroma pandan, maka padi dan beras ini sejak tahun 1973 terkenal dengan sebutan “Pandanwangi”.
Keunggulan Spesifiknya adalah jenis padi varietas lokal Cianjur yang menghasilkan beras Cianjur Asli Pandanwangi termasuk varietas Javonica atau biasa dikenal padi bulu, mempunyai keunggulan rasa sangat enak, pulen dan beraroma wangi pandan. Karena rasanya sangat khas tersebut maka harga berasnya cukup mahal bisa mencapai dua kali lipat harga beras biasa.
Di Cianjur sendiri pesawahan yang menghasilkan beras asli Cianjur ini hanya di sekitar Warungkondang, Cugenang, dan sebagian daerah Cianjur dengan ketinggian 700 meter diatas permukaan air laut. .
· Tauco dan Manisan Cianjur
Makanan Cianjur yang sangat khas adalah tauco, yang dibuat dari bahan kacang kedele, diolah sedemikian rupa sehingga setelah dimasak dan dicampur dengan cabe rawit menjadi teman makan yang enak dilengkapi dengan lalaban, makanan khas Sunda. Di Cianjur juga tersedia aneka ragam manisan yakni jenis makanan olahan dari berbagai jenis buah-buahan dengan bermacam rasa, manis, asam, dan pedas.
· Lentera Gentur
Lentera gentur dibuat dari kuningan dan bahan kaca berwarna dengan desain yang artistik merupakan salah satu kerajinan rakyat Cianjur yang sudah terkenal, berlokasi di Kecamatan Warungkondang.
· Kerajinan Bambu dan Keramik
Kursi dan meja yang dibuat dari bambu merupakan hasil karya pengrajin Cianjur yang terkenal ke seluruh daerah di Indonesia. Kerajinan keramik yang berlokasi di kecamatan Ciranjang.
· Kecapi dan Suling
Kacapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari Kacapi dan Suling. Kacapinya terdiri dari Kacapi Indung atau Kacapi Parahu atau Kacapi Gelung. Selain disajikan secara instrumentalia, Kacapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya.
Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog. Berbeda dengan sebutan Kacapi Suling atau Kacapian bila menggunakan Kacapi Siter. Sudah lazim selain Kacapi Siter dan Suling di tambah pula 1 set Kendang dan 1 set Goong. Laras yang di pergunakannya sama seperti laras yang biasa di pergunakan pertunjukan Kacapi Suling yang mempergunakan Kacapi Parahu yaitu" laras Salendro, Pelog, Sorog. Kecapi Suling yang mempergunakan Kecapi Siter, selain menyajikan instrumentalia juga di pergunakan untuk mengiringi nyanyian (kawih) baik secara Anggana Sekar maupun secara Rampak Sekar.
Lagu-lagu yang disajikan secara Anggana Sekar yaitu seperti : Malati di Gunung Guntur, Sagagang Kembang Ros dan lain sebagainya. Sedangkan untuk Rampak Sekar di antaranya Seuneu Bandung, Lemah Cai dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya baik Kacapi Suling yang menggunakan Kacapi Parahu maupun Kacapi Sitter, sering di pergunakan untuk mengiringi Narasi Sunda dalam acara Ngaras dan Siraman Panganten Sunda, Siraman Budak Sunatan, Siraman Tingkeban. Selain instrumentalia disajikan pula lagu-lagu yang rumpakanya disesuaikan dengan kebutuhan acara yang akan di laksanakan. Lagu yang disajikan diambil dari lagu-lagu Tembang Sunda
Seperti diantaranya Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon dan lain sebagainya. Ada pula yang mengambil lagu-lagu kawih atau lagu Panambih pada Tembang Sunda seperti di antaranya Senggot Pangemat, Pupunden Ati dan lain sebagainya.
Disamping perangkat Kecapi dan Suling ada pula perangkat Kecapi Biola dan Kecapi Rebab yang membawakan lagu-lagu yang sama. Dalam penyajiannya, Kecapi memainkan bagian kerangka iramanya sedangkan bagian lagunya di mainkan oleh Suling, Biola atau Rebab. Adapun tangga nada atau laras yang dalam Karawitan Sunda di sebut dengan Surupan, ada pula yang di sebut dengan Salendro, Pelog dan Sorog.
Kacapi Suling kini banyak di gemari para Kawula Muda, baik di pedesaan mau pun di perkotaan. Karena untuk mempelajarinya bisa meniru dari kaset rekaman Kacapi Suling yang banyak beredar di masyarakat.
Kecapi dan suling adalah alat musik utama yang digunakan dalam mengiringi tambang khas Cianjuran. Kacapi terbuat dari kayu yang keras dan kawat tembaga. Bagian-bagiannya terdiri atas: papalayu, yaitu papan bagian atas; pureut yaitu alat untuk menyetem (nyurupkeun) yang dipasang di bagian depan; dan inang yaitu alat yang berbentuk kerucut atau limas yang ditempatkan pada papalayu. Alat ini gunanya untuk merentangkan kawat (dawai) dengan bagian tumpangsari yang berfungsi untuk menyetem (melaras). Sedangkan, suling terbuat dari bambu tamiang. Bagian-bagiannya terdiri atas: sumber (lubang suling bagian atas); suliwer (sutas tali yang dilitkan pada bagian atas suling); lubang nada (lubang untuk menghasilkan nada). Sedangkan suling merupakan alat tiup yang terbuat dari bambu.
· Kujang, senjata tradisional.
Kujang adalah warisan budaya Sunda pra-modern dan merupakan senjata, ajimat, perkakas atau multifungsi lainnya. Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala. Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan diatas Dewa. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para Dewa.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat Sunda, kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memilik karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : kujang pusaka (lambang keagungan dan pelindung keselamatan), kujang pakarang (untuk berperang), kujang pangarak (sebagai alat upacara), dan kujang pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut kujang jago (menyerupai bentuk ayam jantan), kujang ciung (menyerupai burung ciung), kujang kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), kujang badak (menyerupai badak), kujang naga (menyerupai binatang mitologi naga), dan kujang bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan. Secara historis, kujang dibuat sebagai alat pertanian, namun seiring dengan perkembangan zaman kujang menjadi simbolisasi dalam pranata sosial masyarakat etnis Sunda lama.
· Rumah adat Sunda
Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, tentunya mempunyai bentuk dan nama rumah adat sendiri. Masing-masing rumah adat mempunyai fungsi dan manfaat yang hampir sama, yaitu sebagai tempat tinggal, namun ada pula yang dijadikan tempat keramat. Bahan bangunan yang digunakan untuk membuat rumah adat, baik di Jawa Barat maupun di daerah lainnya, umumnya terdiri atas bahan alami, seperti kayu, bambu, ijuk, daun kepala, sirap, batu maupun tanah. Selain itu, bangunan rumah adat pun biasanya jarang langsung menempel ke tanah (berlantai tanah). Hal ini untuk sirkulasi angin, juga menghindari binatang (binatang buas maupun melata). Khusus di tanah Parahyangan, rumah adat biasanya dibangun di atas tanah sekitar 40-60 cm dengan menggunakan batu.
Bentuk suhunan rumah Sunda sangat disesuaikan dengan keadaan alam serta kebutuhan masyarakat urang Sunda. Di tanah Parahyangan banyak bentuk gaya rumah, yang umumnya diperlihatkan dari bentuk atapnya (suhunan atau hateup). Ada beberapa susuhunan yang dikenal masyarakat Sunda, seperti suhunan jolopong atau regol, suhunan tago/jogog anjing, suhunan badak heuay, suhunan perahu kumureb/nangkub, suhunan capit gunting, suhunan julang ngapak, suhunan buka palayu, dan buka pongpok.
Suhunan jolopong (pelana), merupakan bentuk rumah yang atapnya memanjang. Atap rumah jolopong ini biasa juga disebut suhunan panjang, gagajahan, dan regol. Sedangkan atap rumah jogog atau tagog anjing, bentuknya seperti anjing yang sedang duduk. Bagian depan mirip mulut anjing, menjulur menutupi teras rumah (ngiuhan emper imah).
Atap rumah bentuk badak heuay, biasanya bentuk atapnya mirip bentuk atap rumah tagog anjing, tapi di bagian atas suhunan-nya ada tambahan atau atap belakang dan depan yang menyerupai badak menguap.
Atap rumah parahu kumureb/nangkub, yakni potongan bentuk atap yang mirip perahu terbalik (seperti gunung tangkubanperahu). Sedangkan atap rumah bentuk capit gunting, yakni atap rumah yang setiap ujungnya dihiasi kayu mirip gunting yang siap nyapit. Bentuk ini sering juga disebut srigunting. Sementara atap julang ngapak, dilihat dari depan, suhunan kiri kanannya mirip sayap burung yang terentang. Sedangkan julang-suhunanna sebanyak empat penjuru menyambung dari sisi turun ke bawah. Sambungan bagian tengah menggunakan tambahan mirip gunting muka di bagian puncaknya. Julang ngapak bentuknya mirip burung yang sedang terbang.
Atap rumah bentuk buka palayu, yakni atap rumah yang suhunan-nya mirip suhunan rumah adat Betawi dan di bagian depannya ada teras yang panjang. Sedangkan buka pongpok, bentuknya mirip buka palayu, namun bagian pintunya diubah dan diarahkan langsung ke bagian jalan.
Masyarakat sunda pada zaman dulu memberi nama-nama untuk bentuk atap itu sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada alam sekelilingnya. Hampir di setiap rumah adat yang masih asli jarang ditemukan paku atau besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antartiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa. Sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kepala atau duan rumia. Sangat jarang menggunakan genting.
2. Sistem Pengetahuan
Kearifan para leluhur Tatar Cianjur sangat mewarnai pandangan hidup dan memberi arah perjalanan peradaban masyarakat Tatar Sunda pada umumnya, serta masyarakat Cianjur khususnya. Sehingga sejak dulu masyarakat Cianjur mempunyai filosofi yang melambangkan aspek keparipurnaan, yaitu
- Maos (membaca)
- Ngaos (mengaji Al-Qur’an)
- Mamaos (menembang, bersenandung tembang Sunda/Cianjuran)
- Maenpo (silat)
- Ngibing (menari tradisional)
Namun yang lebih dikenal masyarakat pada umumnya hanyalah tiga yaitu Ngaos, Mamaos, dan Maenpo.
· MAOS : bisa dijabarkan dalam tiga kategori MACA (membaca untuk mengetahui, memaknai, mengarifi dan mengaktualisasikannya dalam perilaku keseharian), dalam wacana Sunda ada tiga kemampuan MACA, yaitu:
§ Maca Uga dina Waruga = mampu memahami kualitas diri sendiri, kontemplasi, instropeksi diri.
§ Maca Uga Waruga Jagat = mampu memahami keadaan lingkungan hidup makro. Menafakuri aya-ayat Kauniah.
§ Maca Uga dina Aksara = mampu memahami ilmu pengetahuan yang tertulis dalam aksara/bahasa.
· NGAOS : dalam idiomatika Sunda NGAOS selalu diartikan dengan membaca Al-Qur’an atau mengaji. Setelah mampu “Ngaos” maka akan tumbuh “Ngartos” (mengerti) dan insya-Alloh akan berujung pada “Rumaos” (sadar diri).
· MAMAOS : diartikan sebagai berkemampuan untuk bersenandung dalam wanda tembang Sunda/Cianjuran. Bila dikaji dengan cermat, ternyata Tembang Sunda/Cianjuran mengandung falsafah hidup yang sangat tinggi baik dalam irama, ornamen lagunya maupun lirik susastranya. Tembang Sunda Cianjuran telah menjadi karya seni klasik bernilai falsafah teramat tinggi.
· MAEN PO : disebut pula kemampuan untuk bersilat, pencak silat, ameng. Po berasal dari bahasa Cina poo = balas, membalas, saling balas; sebab dalam bersilat akan “saling balas” yaitu menyerang dan mempertahankan “tangtungan”. Salah satu peninggalan budaya luhur dari masyarakat Cianjur adalah Maenpo atau pencak silat. Ilmu pencak silat sudah diwariskan turun temurun sejak sekitar akhir abad ke 19. Sampai saat ini, ada 4 tempat utama yang merupakan tempat terpenting dalam penyebaran aliran maenpo yang ada di Cianjur. Tempat itu adalah: Pasar Baru yang merupakan tempat dimana aliran Cikalong banyak dipelajari dan dikembangkan, Bojong Herang di mana Sabandar banyak dikembangkan dan dipelajari dan di antara kedua tempat ini ada daerah kaum yang merupakan tempat tokoh tokoh yang belajar kedua aliran ini baik Cikalong maupun Sabandar. Tempat lain adalah Cikaret yang merupakan tempat di mana aliran Kari berkembang. Kemampuan bersilat menjadi tanda kemampuan diri dalam menghadapi bahaya serta melatih kesabaran, kesadaran dan keberanian.
· NGIBING : atau ngigel, atau berarti menari. Kemampuan untuk memperlihatkan keselarasan etika, melatih keindahan bahasa tubuh (kinestetika) dengan harmoni kehidupan. Dikenal idiomatik Sunda yaitu NGIGELAN JEUNG NGIGELKEUN JAMAN, yaitu mampu menyelaraskan diri dengan kehidupan global-mondial tanpa kehilangan jati diri. Tidak hanya menjadi obyek tetapi juga bisa berperan menjadi subyek dalam percaturan kehidupan manusia lokal, nasional maupun internasional.
Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-agama-an, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keber-agama-an sasaran yang ingin dicapai adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat cianjur ingin mempertahankan keberadaannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu kehidupan. Liliwatan, tidak semata-mata permainan beladiri dalam pencak silat, tetapi juga ditafsirkan sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sedangkan peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan didalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
3. Mata Pencaharian
Kabupaten Cianjur beiklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata 1000 sampai 4000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per tahun. Dengan iklim tropis tersebut menjadikan kondisi alam Kabupaten Cianjur subur dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang ptensial sebagai modal dasar pembangunan dan investasi yang menjanjikan. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan holtikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknaya sungai kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian.
Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 52,00 %. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan yaitu sekitar 23,00 %. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Cianjur yaitu sekitar 42,80 % disusul sektor perdagangan sekitar 24,62%.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Sebagai daerah agraris yang pembangunananya bertumpu pada sektor pertanian, kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 %. Produksi pertanian padi terdapat hampir di seluruh wilayah Cianjur.
Kecuali di Kecamatan Pacet dan Sukanagara. Di kedua Kecamatan ini, didominasi oleh tanaman sayuran dan tanaman hias. Dari wilayah ini pula setiap hari belasan ton sayur mayur dipasok ke Jabotabek.
Cianjur memiliki fauna khas yaitu ayam pelung. Ke-khas-an ayam pelung ini adalah suara kokoknya yang berirama, lebih merdu dan lebih panjang dibanding ayam jenis lainnya. Secara genetika ayam pelung mempunyai beberapa perbedaan, yaitu
- Badan: Besar dab kokoh (jauh lebih berat / besar dibanding ayam lokal biasa)
- Cakar: Panjang dan besar, berwarna hitam, hijau, kuning atau putih
- Pial: Besar, bulat dan memerah
- Jengger: Besar, tebal dan tegak, sebagian miring dan miring, berwarna merah dan berbentuk tunggal
- Warna bulu: Tidak memiliki pola khas, tapi umumnya campuran merah dan hitam ; kuning dan putih ; dan atau campuran warna hijau mengkilat.
Di Cianjur terdapat dua peternakan dan pembibitan ayam pelung yang cukup besar, yaitu di daerah kecamatan Warungkondang dan di Bojongherang.
Pengembangan usaha perikanan air tawar dan laut di Kabupaten Cianjur cukup potensial. Baik untuk usaha berskala kecil maupun besar. Beberapa faktor pendukungnya adalah : jumlah penduduk yang relatif besar serta tersedianya lahan budi daya ikan air tawar dan ikan laut. Usaha pertambakan ikan dan penangkapan ikan laut memiliki peluang besar di wilayah Cianjur selatan, khususnya di sepanjang pantai Cidaun hingga Agrabinta. Di wilayah ini, mulai dirintis dan di kembangkan pertambakan budi daya udang. Sedangkan budi daya ikan tawar terbuka luas di cianjur utara dan cianjur tengah. Di wilayah ini terdapat budi daya ikan hias, pembenihan ikan, mina padi, kolam air deras dan keramba serta usaha jaring terapung di danau Cirata, yang sekaligus merupakan salah satu obyek wisata yang mulai berkembang.
Sementara itu , potensi perkebunan di Kabupaten Cianjur cukup besar dimana sekitar 19,4 % dari seluruh luas merupakan areal perkebunan . Selama in dikelola oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 10.709 hektar, Perkebunan Besar Swasta (PBS) sekitar 20.174 hektar dan Perkebunan Rakyat (PR) seluas 37.167 hektar. Peningkatan produksi perkebunan, terutama komoditi teh cukup baik. Produktivitas teh rakyat mampu mencapai antara 1.400 - 1.500 kg teh kering per hektar. Sedangkan yang di kelola oleh perkebunan besar rata-rata mencapai di atas 2.000 kg per hektar.
Selain dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, masyarakat di daerah tertentu juga menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Daerah Pacet sebagai primadona Pariwisata Cianjur memiliki objek-objek wisata yang menarik antara lain objek wisata Pendakian Gunung Gede, Kebun Raya Cibodas, Taman Mandala Kitri untuk kegiatan perkemahan Pramuka dan Remaja, Kota Bunga, serta Taman Bunga Nusantara. Di kecamatan Cikalongkulon terdapat objek wisata Ziarah Makam Dalem Cikundul, yakni makan Bupati perama sekitar abad 17. Di kecamatan Mande terdapat objek wisata Danau Cirata yang juga kawasan perikanan Sistem Jaringan Terapung. Cianjur juga memiliki kawasan pantai di Cianjur Selatan yang jaraknya sekita 120 km dari ibukota Cianjur.
4. Sistem Religi
Masyarakat Cianjur sebagian besar berpenduduk muslim yang sangat agamis dan memegang teguh norma-norma agama, ini dibuktikan dengan lahirnya program Gerbang Marhamah yang merupakan kependekan dari Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah. Program ini lahir pada tanggal 1 Muharam 1422 atau tanggal 26 Maret 2001 dalam rangka meningkatkan pembangunan akhlak sebagai tolak ukur utama yang akan menentukan baik buruknya kehidupan uma manusia. Lahirnya Gerbang Marhamah dilatarbelakangi oleh komitmen yang mulia dari segenap jajaran aparat dan masyarakat umat Islam di Kabupaten Cianjur atas potensi umat Islam yang demikian besar ditunjang oleh keberadaan berbagai prasarana/sarana peribadatan yang tersebar sampai ke pelosok desa.
5. Sistem Kemasyarakatan
· Perkawinan Adat Pengantin Sunda
Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya dapat dilihat berikut ini.
- Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis.
- Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinang komplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa cincing meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
- Tunangan. Dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis.
- Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain.
- Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)
- Dipimpin pengeuyeuk.
- Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya.
- Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk
- Disawer beras, agar hidup sejahtera.
- dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja.
- Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.
- Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.
- Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria).
- Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadi satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan.
- Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga.
- Upacara Prosesi Pernikahan
- Penjemputan calon pengantin pria. Sebelum acara akad nikah dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara penjemputan calon pengantin pria. Hal ini adalah sebagai adat sopan santun atau tatakrama yang telah menjadi kebiasaan umum, yaitu adanya saling menghargai. Untuk persiapan penjemputan, orang tua calon pengantin wanita membentuk panitia yang terdiri dari dua kelompok, yaitu:
Kelompok I terdiri dari: 1. Seorang membawa payung dan lengser; 2. Seorang membawa baki berisi mangle atau rangkaian bunga melati sebagai kalung. 3. Dua mojang membawa tempat lilin. 4. Dua mojang membawa bokor berisi perlengkapan upacara sawer dan nincak endog. 5. Dua bujang sebagai pengawal (gulang-gulang)/ jagasatru.
Kelompok II terdiri dari:
1. Para mojang (dara atau gadis) dan bujang remaja berbaris di sisi kanan kiri pintu halaman yang akan dilalui oleh rombongan calon pengantin pria sampai ke depan pintu rumah.
2. Rombongan calon pengantin pria tiba, kemudian mereka dijemput di luar halaman oleh rombongan yang dipimpin lengser.
Pembawa payung segera memayungi calon pengantin pria dengan didampingi oleh dua gulang-gulang. Di sebelah depannya lagi seorang dayang berjalan membawa baki yang berisi kalungan bunga. Paling depan ialah lengser yang biasanya berjalan sambil menari dengan diiringi oleh alunan gamelan degung.
Mereka berjalan bersama-sama menurut irama gamelan menuju pintu halaman rumah. Di pintu gerbang halaman rumah, rombongan berhenti sebentar. Orang tua calon pengantin wanita telah siap berada di sana. Setelah calon pengantin pria datang, ibu calon pengantin wanita mengalungkan bunga kepada caIon menantunya. Selanjutnya rombongan bergerak lagi sambil di-taburi aneka ragam bunga oleh para mojang dan bujang yang berderet di kedua sisi jalan.
Dengan didampingi oleh calon mertuanya, pengantin pria dibawa masuk ke ruangan akad nikah dan dipersilakan duduk di kursi yang telah disiapkan. Selanjutnya pembawa acara mempersilakan kedua orang tua calon pengantin, saksi, petugas dari Kantor Urusan Agama serta beberapa orang tua dari kedua belah pihak yang dianggap perlu, untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Calon pengantin wanita dipersilakan duduk di samping calon suaminya yang selanjutnya segera dilanjutkan upacara Akad Nikah.
- Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.
- Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah.
- Sungkeman,
- Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.
- Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.
- Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria.
- Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.
- Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan.
6. Sistem Bahasa
Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Cianjur adalah Basa Sunda Lemes, atau bahasa sunda yang halus. Masyarakat Cianjur dikenal sangat santun berbahasa, dari semua tingkatan bahasa sunda atau yang dikenal sebagai undak usuk basa dalam bahasa sunda, masyarakat menggunakan tingkat bahasa yang paling halus dan sopan. Dalam bahasa sunda, tidak lah sama untuk berbicara kepada yang lebih tua, lebih muda, sebaya, lebih rendah maupun tinggi status sosialnya, juga kepada binatang. Berbicara kepada binatang merupakan tingkatan bahasa yang paling kasar.
Dengan arus globalisasi seperti saat ini berbagai upaya dilakukan untuk tetap melestarikan bahasa sunda yang merupakan warisan para leluhur Jawa Barat, salah satunya adalah dengan dimasukannya mata pelajaran bahasa sunda menjadi muatan lokal (mulok), tidak menjadi pelajaran tambahan seperti yang terjadi sekarang ini. Begitu pun jam pelajarannya ditambah. Upaya lainnya dalam bentuk pagelaran lomba sastra sajak sunda, ngadongeng, presenter berbahasa sunda, dan lainnya. Dan setiap tanggal 21 Juli, yang merupakan Hari Jadi Cianjur, masyarakat Cianjur diharuskan menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa sunda demi mempertahankan keseragaman bahasa.
7. Sistem Kesenian
· Tembang Cianjuran
Di tempat kelahirannya, Cianjur, sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab.
Sejarah
Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834—1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864—1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853—1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920—1931 & 1935—1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan tembang Cianjuran.
Peralatan
Peralatan musik yang digunakan dalam mamaos cianjuran adalah: kacapi, suling dan rebab. Kacapi terbuat dari kayu yang keras dan kawat tembaga. Bagian-bagiannya terdiri atas: papalayu, yaitu papan bagian atas; pureut yaitu alat untuk menyetem (nyurupkeun) yang dipasang di bagian depan; dan inang yaitu alat yang berbentuk kerucut atau limas yang ditempatkan pada papalayu. Alat ini gunanya untuk merentangkan kawat (dawai) dengan bagian tumpangsari yang berfungsi untuk menyetem (melaras). Sedangkan, suling terbuat dari bambu tamiang. Bagian-bagiannya terdiri atas: sumber (lubang suling bagian atas); suliwer (sutas tali yang dilitkan pada bagian atas suling); lubang nada (lubang untuk menghasilkan nada). Sementara, bagian-bagian rebab yang terbuat dari kayu dan kawat terdiri atas: pucuk (bagian paling atas rebab); pureut (alat untuk menyetem yang juga terdapat di bagian atas rebab); wangkis yang berfungsi sebagai resonater; beuti cariang (bagian bawah wangkis); soko 9bagian paling bawah rebab; dan tumpangsari (alat yang diikatkan pada dua buah kawat yang direntengkan). Kemudian, bagian penggesek terdiri atas pucuk, gandar, dan bulu-bulu pengesat.
Pemain dan Busana
Pemain kesenian yang disebut sebagai mamaos cianjuran terdiri atas: seorang pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu, dan memngiri lagu baik mamaos mamupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang membawakan wanda panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai anggeran wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi lelemah sore (dasar nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu mamaos cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju taqwa, sinjang (dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang.
Pertunjukan
Sebenarnya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.
Lagu-lagu dalam wanda papantunan di antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup, Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, dsb. Sementara dalam wanda jejemplangan di antaranya terdiri dari Jemplang Panganten, Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung dan sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di antaranya: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan, Selabintana, Soropongan, dsb.
Fungsi dan Nilai Budaya
Fungsi kesenian yang disebut sebagai mamaos cianjuran adalah sebagai hiburan. Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan rohnya (jatidiri kesenian mamaos cianjuran).
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat.
· Seni Rengkong
Rengkong merupakan salah satu kesenian tradisional yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Sunda. Kesenian ini muncul sekitar tahun 1964 di Kabupaten Cianjur. Orang yang pertama kali memperkenalkannya adalah H. Sopjan. Bentuk kesenian ini dikenal dari tata cara masyarakat Sunda dahulu, ketika menanam padi sampai dengan menuainya. Pada saat itu, belum ada alat transportasi untuk mengangkut padi ke lumbung. Para petani menggunakan bambu sebagai alat pikul padi. Pikulan yang membawa berat beban kurang lebih 10-20 kg ini diikat dengan tali ijuk. Setiap berjalan, pikulan ini menghasilkan bunyi, yang dihasilkan dari pergesekan tali ijuk dengan pikulan. Dari sini kesenian rengkong bermula. Istilah rengkong sendiri diambil dari alat untuk memikul padi dari sawah ke lumbung.
Peralatan untuk memainkan seni rengkong terbilang sederhana. Terdiri dari bambu gombong, tali ijuk, minyak tanah, dan satu himpitan tangkai padi. Bambu gombong berfungsi sebagai pikulan. Tali ijuk berfungsi sebagai pengikat padi yang digantung pada pikulan. Padi, yang kisaran beratnya 10-20 kg sebagai beban pikul. Sedangkan minyak tanah fungsinya sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan untuk menghasilkan suara yang keras. Dogdog dan angklung buncis merupakan peralatan lainnya sebagai pengiring. Hatong juga lazim digunakan sebagai instrumen pembantu. Hatong merupakan alat tiup yang terbuat dari bambu. Suara yang dihasilkan rengkong sangat khas, menyerupai suara katak. Pemain rengkong biasanya menggunakan celana pangsi, baju kampret, ikat kepala, dan tanpa alas kaki. Pemainnya berjumlah 5 atau 6 orang dengan durasi bermain selama satu jam. Pertunjukan rengkong selalu dilakukan di alam terbuka. Cara memainkannya, pikulan yang berisi padi diletakkan di bahu kanan. Si pemikul mengayun-ayunkan ke kiri dan ke kanan dengan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang menggantung pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang keras inilah yang menimbulkan suara. Jika diamati, kesenian ini memang sangat khas keseharian petani desa.
Awalnya, rengkong digunakan sebagai “alat transportasi” untuk mengangkut padi dari sawah ke lumbung, sekaligus sebagai “pengalihan perhatian” para petani yang lelah karena mengangkat berat beban padi yang dibawanya. Perlahan-lahan rengkong menjelma menjadi kesenian tradisional masyarakat Sunda, yang lazimnya dipertunjukkan saat hari besar nasional, upacara keagamaan, upacara perkawinan, bahkan menyambut tamu istimewa. Di sini berarti rengkong memiliki fungsi estetika dan sekaligus hiburan.
Di luar fungsi-fungsi tersebut ternyata rengkong juga mempunyai fungsi religius. Rengkong digunakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan Dewi Sri Pohaci (Dewi Kesuburan). Masyarakat Sunda memang lekat dengan kepercayaan kepada Dewi Sri Pohaci. Di beberapa daerah, seperti Banten, Sukabumi, Sumedang, dan Bogor, kadang kala setelah panen tiba, diadakan pesta adat yang menyertakan seni rengkong di dalamnya. Ini adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberikan hasil panen yang melimpah. Di daerah-daerah tersebut memiliki nama pesta adat yang berbeda. Di Bogor, Banten, dan Sukabumi masyarakat menyebut upacara pesta adat dengan nama upacara Seren Taun, sedangkan di Sumedang masyarakat menyebutnya upacara Ngalaksa. Ternyata selain dikenal oleh masyarakat di Jawa Barat, seni rengkong juga dikenal masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Seni rengkong ini dikenal masyarakat Banyumas melalui kontak/interaksi dengan kebudayaan Sunda, yang telah mengenal rengkong terlebih dahulu. Tidak jauh berbeda dengan fungsi rengkong di beberapa daerah di Jawa Barat, di Banyumas rengkong juga digunakan sebagai media ekspresi rasa syukur kepada Tuhan terhadap hasil panen yang melimpah. Nilai yang ingin “ditularkan” dan yang dapat kita teladani dari kesenian rengkong adalah nilai kerja keras. Nilai ini jelas terlihat dari kesungguhan mengangkat beban padi, asal mula kesenian ini.
· Kuda Kosong sebagai simbol keperkasaan
Pawai “kuda kosong” yang sejak dulu digelar pada setiap upacara kenegaraan Cianjur, punya maksud untuk mengenang sejarah perjuangan para Bupati Cianjur tempo dulu. Saat Cianjur dijabat Bupati R.A. Wira Tanu seorang Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II, bupati diwajibkan menyerahkan upeti hasil palawija kepada Sunan Mataram di Jawa Tengah.
Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II yang dianggap sakti mandragunalah yang rutin ditugaskan untuk menyerahkan upeti tadi. Jenis upeti adalah sebutir beras, lada, dan sebutir cabai. Sambil menyerahkan tiga butir hasil palawija itu, Kangjeng Dalem Pamoyanan selalu menyatakan bahwa rakyat Cianjur miskin hasil pertaniannya. Biar miskin, rakyat Cianjur punya keberanian besar dalam perjuangan bangsa, sama seperti pedasnya rasa cabai dan lada.
Karena pandai diplomasi, Kangjeng Sunan Mataram memberikan hadiah seekor kuda kepada Dalem Pamoyanan. Seekor kuda jantan diberikan untuk sarana angkutan pulang dari Mataram ke Cianjur. Penghargaan besar Sunan Mataram terhadap Kangjeng Dalem Pamoyanan membuat kebanggan tersendiri bagi rahayat Cianjur waktu itu.
Jiwa pemberani rakyat Cianjur seperti yang pernah disampaikan Kangjeng Dalem Pamoyanan kepada Sunan Mataram membuahkan kenyataan. Sekira 50 tahun setelah peristiwa seba itu, ribuan rakyat Cianjur ramai-ramai mengadakan perlawanan perang gerilya terhadap penjajah Belanda. Dengan kepemimpinan Dalem Cianjur Rd. Alith Prawatasari, barisan perjuang di setiap desa gencar melawan musuh, sampai-sampai Pasukan Belanda sempat ngacir ke Batavia (sekarang Jakarta).
Untuk mengenang perjuangan Kangjeng Dalem Pamoyanan yang pandai diplomasi itu, setiap diadakan upacara kenegaraan di Cianjur selalu digelar upacara ‘kuda kosong’. Maksud seni warisan leluhur itu untuk mengenang perjuangan pendahulu kepada masyarakat Cianjur sekarang.
Namun seni kuda kosong ini terancam punah sekarang, karena dianggap menyimpang dan mengandung unsur mistis. Tak sedikit seni budaya Cianjur hilang dan terancam mati. Seperti seni bangkong reang di Kec. Pagelaran, seni tanjidor di Kec. Cilakong, goong renteng di Kec. Agrabinta, seni rudat di Kec. Kadupandak, dan seni reak di Kec. Cibeber. Bahkan, seni tembang cianjuran sebagai warisan budaya ciptaan Kangjeng Raden Aria Adipati Kusumaningrat atau Dalem Pancaniti Bupati Cianjur (1834-1861) benar-benar hampir terancam kepunahan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kebudayaan di Cianjur memiliki tujuh unsur. Unsur pertama yaitu unsur bahasa, dimana masyarakat Cianjur menggunakan bahasa sunda yang halus dalam kesehariannya. Unsur yang kedua yaitu teknologi dan alat produksi. Misalnya senjata tradisional kujang yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi pajangan dan benda pusaka. Selain itu Cianjur juga memiliki makanan khas seperti beras Pandan Wangi, manisan Cianjur dan tauco. Unsur yang ketiga yaitu sistem mata pencaharian, yang di dominasi oleh sektor pertanian.
Unsur yang keempat yaitu sistem kemasyarakatan. Di Cianjur masyarakat masih menganut sistem-sistem adat seperti sistem perkawinannya. Unsur yang kelima yaitu sistem pengetahuan, dimana masyarakat Cianjur telah mewarisi pandangan hidup para leluhurnya, yaitu Ngaos, Maos, Mamaos, Maenpo, dan Ngibing. Unsur Keenam yaitu sistem religi yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Cianjur.
Unsur Ketujuh yaitu kesenian. Kota Cianjur memiliki banyak kesenian dan tradisi yang masih sering dijumpai pada zaman modern ini.
5.2 Saran
Menurut pendapat saya, kebudayaan yang dimiliki Cianjur sangatlah beragam dan potensial. Sudah selayaknya generasi muda mulai mencintai dan melestarikan segala kekayaan dan potensi yang tersedia di Cianjur. Karena kebudayaan tersebut merupakan warisan dari para leluhur yang tidak boleh dihilangkan. Oleh sebab itu, masyarakat serta pemerintah harus turut berperan serta dalam melestarikan kebudayaan Cianjur. Saat ini pemerintah Cianjur sudah melakukan upaya yang cukup untuk melestarikan budaya Cianjur, hanya seharusnya lebih ditingkatkan lagi intensitasnya, sehingga rasa cinta generasi muda pada daerahnya tidak akan mudah luntur.
DAFTAR PUSTAKA
Kurrnia, Ganjar. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Bandung : Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat. 2003.
Drs.Ade Nendang R.J.A. Babad Menak-menak Sunda - Sajarah Bopati-bopati Cianjur. M.Hum. UNPAS, 1995.
Galba, Sindu. Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur. 2007.
Tim Seksi Kebudayaan. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur. 2002.
Wiratmadja, Abung S. Mengenal Seni Tembang Sunda. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah TKI Jawa Barat. 1998.
Potensi dan Pesona Cianjur. Pemerintah Kabupaten Cianjur. 2003.
Website pemerintah
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
http://www.silatindonesia.com/
www.westjavatourism.com
1 komentar:
terima kasih sudah mempublikasikan tulisannya bagus, pembaca jadi lebih paham tentang budaya cianjur yg semakin dilupakan masyarakatnya sendiri..
Posting Komentar